Dia adalah ummul mukminin Saudah binti Zama’ah bin Qois bin Abdu Syams bin Abdu Wudd Al-Amiriyyah radhiallahu’anha. Ibunya adalah Syamusy bintu Qois bin Zaid An-Najjariiyyah. Dia adalah wainta yang dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal Khadijah radhiallahu’anha, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.
Dia termasuk golongan wanita yang agung dan mulia nasabnya. Tergolong
para wanita yang cerdas akalnya. Perawakannya tinggi dan besar. Termasuk
istri yang menyenangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesegaran candanya.
la merawikan 5 hadits dari Nabi. Di antaranya, ia berkata, "Ada seorang laki-laki yang datang menemui Nabi sembari berkata,"Ayahku telah lanjut usia dan ia sudah tidak mampu menunaikan haji." Nabi bersabda, "Bukankah seandainya ayahmu punya utang, lalu kamu melunasinya, dan itu akan diterima? " "Ya", jawab laki-laki itu. "Allah Maha Pengasih, maka tunaikanlah haji atas nama ayahmu!" kata Nabi.
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menaruh perhatian yang
istimewa terhadap wanita muhajirah yang beriman dan telah menjanda
tersebut. Oleh karena itu tiada henti-hentinya Khaulah binti Hakim
as-Salimah menawarkan Saudah untuk beliau hingga pada gilirannya beliau
mengulurkan tangannya yang penuh rahmat untuk Saudah dan beliau
mendampinginya dan membantunya menghadapi kerasnya kehidupan. Apalagi
umurnya telah mendekati usia senja sehingga membutuhkan seseorang yang
dapat menjaga dan mendampinginya.
Telah tercatat dalam
sejarah tak seorangpun sahabat yang berani mengajukan masukan kepada
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tentang pernikahan beliau
setelah wafatnya Ummul Mukminin ath-Thahirah yang telah mengimani
beliau disaat menusia mengkufurinya dan menyerahkan seluruh hartanya
disaat orang lain menahan berntuan terhadapnya dan bersamanya pula Allah
mengkaruniakan kepada Rasul putra-putri.
Akan tetapi
hampir-hampir kesusahan menjadi berkepanjangan hingga Khaulah binti
Hakim memberanikan diri mengusulkan kepada Rasulullah dengan cara yang
lembut dan ramah:
Khaulah : Tidakkah anda ingin menikah ya Rasulullah?
Nabi : (Beliau menjawab dengan suara yang menandakan kesedihan) dengan siapa saya akan menikah setelah dengan Khadijah?
Khaulah : jika anda ingin, bisa dengan seorang gadis dan bisa pula dengan seorang janda.
Nabi : jika dengan seorang gadis, siapakah gadis tersebut?
Khaulah : Putri dari orang yang anda cintai yakni Aisyah binti Abu Bakar.
Nabi : (Setelah beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam diam untuk beberapa saat kemudian bertanya) jika dengan seorang janda?
Khaulah : Dia adalah Saudah binti Zam'ah, seorang wanita yang telah beriman kepada anda dan mengikuti yang anda bawa .
Beliau
menginginkan Aisyah akan tetapi terlebih dahulu beliau nikahi Saudah
binti Zam'ah yang mana dia menjadi satu-satunya isteri beliau (setelah
wafatnya Khadijah) selama tiga tahun atau lebih baru kemudian masuklah
Aisyah dalam rumah tangga Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Orang-orang di Makkah merasa heran terhadap pernikahan Nabi dengan
Saudah binti Zam'ah. Mereka bertanya-tanya seolah-olah tidak percaya
dengan kejadian tersebut, seorang janda yang telah lanjut usia dan tidak
begitu cantik menggantikan posisi Sayyidah wanita Quraisy dan hal itu
menarik perhatian bagi para pembesar-pembesar diantara mereka.
Akan
tetapi kenyataan membuktikan bahwa sesungguhnya Saudah atau yang lain
tidak dapat menggantikan posisi Khadijah, akan tetapi hal itu adalah,
kasih sayang dan penghibur hati adalah menjadi rahmat bagi beliau
Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang penuh kasih.
Adapun
Saudah radhiallaahu 'anha mampu untuk menunaikan kewajiban dalam rumah
tangga Nubuwwah dan melayani putri-putri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam dan mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan di hati Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan ringannya ruhnya dan sifat
periangnya dan ketidaksukaannya terhadap beratnya badan.
Suatu ketika, Saudah ra. pernah mengalami masalah yang cukup memberatkan
hatinya. Oleh sebab itu, ia segera menemui Nabi saw. untuk mengadukan
permasalahannya. Ternyata, Allah berkenan menurunkan wahyu dari tujuh lapis
langit untuk menyelesaikan masalah yang dialaminya, dan berlaku untuk siapa pun
yang mengalami masalah yang sama hingga hari kiamat.
Aisyah ra. menuturkan, "Saudah binti Zam'ah ra. pernah keluar
rumah malam hari. Umar melihatnya dan segera mengenalnya, maka ia berkata,
'Demi Allah, engkau pasti Saudah. Kami mudah mengenalmu.' Saudah merasa tidak
enak hati, sehingga ia segera menjumpai Rasulullah saw. yang saat itu sedang
makan malam di rumahku dan tangannya sedang memegang tulang yang nyaris habis
dagingnya. Tidak lama kemudian, Allah menurunkan wahyu yang membenarkan
tindakan Saudah. Rasulullah saw. berkata, Allah telah mengizinkan kalian keluar
rumah selama ada keperluan.'" (Muttafaq 'alaih)
Setelah
tiga tahun rumah tangga tersebut berjalan maka masuklah Aisyah dalam
rumah tangga Nubuwwah, disusul kemudian istri-istri yang lain seperti
Hafsah, Zainab, Ummu Salamah dan lain-lain. Saudah radhiallaahu 'anha
menyadari bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak mengawininya
dirinya melainkan karena kasihan melihat kondisinya setelah kepergian
suaminya yang lama. Dan bagi beliau hal itu telah jelas dan nyata
tatkala Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam ingin menceraikan beliau
dengan cara yang baik untuk memberi kebebasan kepadanya, namun Nabi
nerasa bahwa hal itu akan menyakiti hatinya.Tatkala Nabi mengutarakan
keinginannya untuk menceraikan beliau, maka beliau merasa seolah-olah
itu adalah mimpi buruk yang menyesakkan dadanya, maka beliau merengek
dengan merendahkan diri berkata: "pertahankanlah aku ya Rasulullah !
Demi Allah tiadalah keinginanku diperistri itu karena ketamakan saya
akan tetapi hanya berharap agar Allah membangkitkan aku pada hari
kiamat dalam keadaan menjadi Istrimu.
Begitulah Saudah
radhiallaahu 'anha lebih mendahulukan keridhaan suaminya yang mulia,
maka beliau berikan giliran beliau kepada Aisyah untuk menjaga hati
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan beliau radhiallaahu 'anha
sudah tidak memiliki keinginan sebagaimana layaknya wanita lain.
Maka Rasulullah menerima usulan istrinya yang memiliki perasaan yang halus tersebut, maka turunlah ayat Allah:
"Maka
tidak mengapa bagi keduannya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka)."(An-Nisa':128).
Saudah radhiallaahu 'anha tinggal
dirumah tangga nubuwwah dengan penuh keridhaan dan ketenangan dan
bersyukur kepada Allah yang telah menempatkan posisinya disamping
sabaik-baik makhluk di dunia dan dia bersyukur kepada Allah karena
mendapat gelar ummul mukminin dan menjadi istri Rasul di jannah.
Akhirnya wafatlah Saudah radhiallaahu 'anha pada akhir pemerintahan
Umar bin Khattab radhiallaahu 'anha.
Ummul mukminin
Aisyah radhiallaahu 'anha senantiasa mengenang dan mengingat perilaku
beliau dan terkesan akan keindahan kesetiaannya. Aisyah berkata: "Tiada
seorang wanitapun yang paling aku sukai agar aku memiliki sifat
seperti dia melebihi Saudah binti Zam'ah tatkala berusia senja yang
mana dia berkata: "Ya Rasulullah aku hadiahkan kunjungan anda kepadaku
untuk Aisyah hanya saja beliau berwatak keras".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar